20 Januari 2025, Sastra Indonesia, khususnya Sastra Jawa kehilangan seorang sosok yang gigih memperjuangkan sastra dan budaya, Tulus Setiyadi. Sang Sastrawan meninggal dunia di rumahnya, Nglames, Madiun.
Tidak banyak penulis puisi, cerpen, dan penyair yang juga seorang petani, dari yang sedikit itu adalah Tulus Setiyadi, penulis yang berasal dari Madiun, tepatnya desa Banjarsari, Nglames, kabupaten Madiun. Penulis sehari-hari profesinya adalah petani, yang benar-benar menggarap sawahnya sendiri, penulis yang sehari-hari hidup di tengah masyarakat agraris, meminjam istilah W.S. Rendra : penulis yang “manjing ing kahanan”
Saya menulis itu mengalir saja. Karena saya bukan mencari daftar pustaka, Kalau musim panen (padi), waktu untuk menulis sedikit berkurang,” ujarnya saat berbincang-bincang dan ngopi bersama saya dan beberapa teman dari komunitas Majelis Sastra Madiun. Sesuatu yang menarik, bertani dan menulis bisa berjalan beriringan.
Tulus menulis dengan dua bahasa, yaiitu bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Antologi puisinya yang ditulis dalam bahasa Indonesia antara lain : Surat Kerinduan, Bangsa Pemuja Iblis, dan antologi puisi Satu…Satu…Satu…Salam Damai yang diterbitkan oleh Pustaka Ilalang. Novel yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan Jawa antara lain novel Lintang Kesaput Mega, Awal Layunya Mawar Berduri, Ontran-ontran Sarinem, Ledhek saka Ereng-erenge Gunung Wilis . Sedangkan esa-esainya yang ditulis adalah : Pendekatan Nilai-Nilai Filosofi dalam Karya Sastra Jawa dan Makna Simbol Selamatan Kematian Pada Masyarakat Budaya Jawa.
Puisi dalam bahasa Jawa atau Geguritan yang ditulisnya Kawruh Urip Luhur Ngabekti, Narakisma, juga Serat Cipta Rasa salah satu Geguritan yang ditulis menggunakan aksara jawa. “sebelum menulis, saya sering dolan dan mempelajari kebudayaan-kebudayaan lokal. Jadi, secara otomatis jalan sendiri otak saya, otodidak,” ungkap Tulus, lantas tersenyum.
Mayoritas novel yang ditulis Tulus menceritakan kisah asmara dan budaya masyarakat Jawa. Dengan latar belakang atau setting peristiwa di pedesaan yang memang banyak dijumpai di wilayah Karesidenan Madiun. Di samping Ledhek saka Erengerenge Gunung Wilis, ada novel-novel lain yang juga bercerita tentang petualangan cinta. Salah satunya Sindhen Padmi.
Hal ini dapat kita pahami sebagai habitus dari penulis yang selalu tampil khas memakai Topi dan syal ini, menurut Pierre Bourdieu habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia. Proses sosialisasi nilai-nilai kebudayaan lokal dari masyarakat agraris inilah yang membentuk kharakter dari tulisan-tulisan Tulus Setiyadi. Tulisan-tulisannya bisa dikategorikan kontekstual, tulisan yang punya konteks ruang dan waktu di mana penulis tersebut berada, berada dalam konteks kondisi sosial masyarakat sekitarnya.
Menurut Ariel Heryanto, Dalam kontestasi simbolik di arena sastra Indonesia, di Indonesia ada dua kelompok besar dalam arena sastra Indonesia. Kelompok pertama, jika ditanya dari mana datangnya "sastra", akan menjawab dari batin, sedang kelompok kedua akan menjawab dari kehidupan sosial. Yang pertama pada umumnya menganut pandangan sastra universal, dan kelompok kedua adalah pandangan sastra kontekstual. Menurut saya, Tulus Setiyadi ini meskipun mengatakan tulisan-tulisannya mengalir begitu saja, tapi inspirasi-inspirasinya datang dari kehidupan sosial di sekitarnya, tentunya sebelum dituliskan akan mengalami perenungan-perenungan dalam proses kreatifnya hingga menghasilkan tulisan-tulisan yang dihadirkan untuk pembaca.
Dengan demikian dapat saya berikan sebuah istilah untuk Tulus Setiyadi ini sebagai penulis realisme agraris. Penulis yang inspirasi dan hasil karyanya menceritakan kondisi sosial masyarakat agraris di sekitar tempat tinggalnya. Sebagai seorang petani, kelihaian Tulus mengolah kata berbahasa Jawa menjadi sebuah novel diapresiasi sejumlah pihak. Bahkan, selama setahun terakhir, beberapa penggemar sastra Jawa dan mahasiswa program studi ilmu sastra Jawa dari sejumlah universitas datang ke rumahnya untuk sekadar menimba atau bertukar pengetahuan. “Ada yang menjadikan novel saya sebagai bahan tesis untuk pascasarjana juga,” ucapnya.
Penerima Anugerah “SUTASOMA AWARD” sebagai karya sastra daerah terbaik Tahun 2017 dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur ini, hingga kini selalu menampakkan kesederhanaannya dan tak menampakkan sama sekali kesastrawanannya juga selalu belajar dan terus belajar demi mengembangkan Kesusastraan Jawa maupun Indonesia. Salah satu hal yang menjadi keprihatinannnya adalah minimnya perhatian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Madiun, menurut pengakuannya buku-buku yang ditulis dalam bahasa Jawa adalah hasil dari upayanya sendiri dalam mencetak dan menerbitkan buku secara Indie (dibiayai sendiri), hingga mengasilkan penghargaan Sutasoma Award tersebut.
Penghasilan seorang petani cenderung pas-pasan untuk sekadar membiayai ongkos pencetakan buku di penerbitan indie. Tak pelak, dengan kondisi terbatas seperti itu, Tulus hanya mampu mencetak buku paling banyak seratus eksemplar setiap kali cetak dengan demikian balik modal saja sudah bagus.
Menurut alumnus Universitas Widya Mataram Jogjakarta ini masalah kesulitan modal itu tak membuatnya putus asa. Setidaknya, hal tersebut bisa diatasi dengan menggadaikan perhiasan untuk jaminan pinjaman. “Nanti ditebus saat panen,” ucapnya. Panen padi umumnya berlangsung dua kali dalam setahun. Itu bila cuaca sedang dalam kondisi baik. “Bagi saya, menulis itu pengabdian,” imbuhnya. Dengan kondisi seperti ini Tulus Setiyadi tetap menulis dan tetap bertani, keduanya dapat tempat, keduanya dicatat demikian kata Chairil Anwar. Mungkin ini adalah suatu ironi di negeri ini. Selamat jalan menuju keabadian Tulus Setiyadi, selamat menulis geguritan bersama bintang-bintang.